4.13 Sydney #2

Setelah pengalaman luar biasa selama dua minggu tersebut, saya pulang, dan bekerja seperti biasa dari Bali.

Satu hal yang menurut saya kurang adalah tidak bisa menikmati indahnya negeri Kangguru itu secara penuh karena saya menikmatinya sendirian. Akan lebih seru sebenarnya kalau saya bisa bersama teman atau keluarga. Meski begitu, momen tersebut tidak akan terlupakan.

Sampai akhirnya pada awal tahun 2018, saya mendapatkan kabar lebih dahsyat lagi. Kali ini mimpi saya benar-benar menjadi kenyataan. Pagi itu sang CTO mengirimkan pesan langsung lewat Slack, dia bertanya apakah saya bersedia untuk bekerja full-time di Sydney. Ada yang bisa menebak jawaban saya?

Sebagai gambaran saja, bekerja full-time berbeda dengan kunjungan singkat dua minggu. Bekerja disana berarti harus rela jauh dari keluarga dan teman dalam waktu yang cukup lama. Memang tidak ada batasan, tetapi bepergian dari Indonesia ke Australia tidaklah murah. Terus apa jawaban saya?

Sudah pasti “YES!”

Saya iyakan bahkan tanpa bertanya kepada kedua orang tua terlebih dahulu. Bukan tidak menghormati mereka, tetapi ini demi mereka. Inilah kesempatan saya membayar kegagalan di masa lalu. Saya ingin mereka bahagia melihat anaknya meraih apa yang diimpikan.

Saya ditawari gaji sebesar 100,000 ribu Dollar Australia per tahun. Per bulan berarti 8000 Dollar lebih. Itu penawaran yang tidak bisa saya tolak. Gaji yang awalnya 10-15 juta per bulan menjadi 80 juta? Siapa yang tidak mau.

Jumlah tersebut adalah untuk bisa hidup di Australia. Terutama di Sydney yang merupakan salah satu kota dengan biaya hidup termahal di dunia.

Jadi tidak semuanya akan masuk kantong. Harus bayar pajak, bayar tempat tinggal, dan biaya hidup lainnya.

Persiapan

Setelah itu, saya mulai mempersiapkan semua dokumen yang diperlukan. Ternyata tidak semudah yang dibayangkan.

Bekerja di Australia sebagai tenaga ber-skill maka harus bisa membuktikan bahwa kita punya skill itu. Karena tidak punya ijazah universitas, maka harus membuktikan bahwa saya berpengalaman minimal 5 tahun di bidang itu. Harus tes kesehatan, tes bahasa Inggris, mengisi banyak formulir, mengurus ini dan itu.

Untungnya, saya tidak harus mengurus semuanya sendiri. Perusahaan menunjuk sebuah agen imigrasi untuk membantu mengurus segala hal yang diperlukan di negara mereka. Saya hanya perlu menyediakan dokumen yang diminta.

Sempat kepikiran untuk menyerah karena saking sulitnya, tetapi untungnya saya bukan tipe yang cepat menyerah. Saya jalani prosesnya meski memakan waktu berbulan-bulan.

Sampai akhirnya pada suatu pagi di bulan Oktober 2018, saya menerima email dari agen tersebut. Mereka memberi ucapan selamat karena visa saya telah disetujui dan bisa berangkat ke Australia segera.

Saya melompat kegirangan dan berteriak bahagia dalam hati. Itu adalah salah momen yang paling bahagia dalam hidup saya. Mimpi saya ingin bekerja di luar negeri sudah di depan mata. Bukan hanya dua minggu, kali ini 4 tahun.

Saya pun dijadwalkan untuk berangkat ke Sydney sebulan setelahnya. Perusahaan berbaik hati mengurus semuanya sampai saya tiba disana. Mulai dari tiket pesawat sampai akomodasi untuk beberapa minggu pertama. Sisanya baru kemudian harus saya urus sendiri.

Singkat cerita, sebulan setelahnya saya sudah berada di Sydney. Babak baru dalam hidup saya. Tidak henti-hentinya saya bersyukur betapa beruntungnya anak desa ini. Finally I did it!

Culture Shock

Beberapa bulan pertama saya kena culture shock. Saya kaget dengan cara hidup dan budaya masyarakat di sana. Orang-orang terkesan individualis. Tidak mencampuri urusan orang juga tidak ingin urusannya dicampuri. Bertegur sapa saja jarang.

Itu sangat berbeda dengan keramahan Bali yang biasa saya rasakan. Pernah suatu malam saya kangen Bali, saya putar sebuah video dari Band Navicula yang berjudul “Bali Berani Berhenti”. Air mata saya mengalir begitu saja.

Untungnya perasaan terisolasi itu tidak berlangsung lama. Semua terobati ketika bekerja, bertemu dengan kolega, atau hangout bersama sepulang kerja. Semua terasa normal kembali, bahkan saya mulai menikmati. Menikmati segala kemudahan yang ditawarkan oleh kota besar nan modern itu.

Kantor kita berada di pusat kota Sydney yang biasa disebut CBD alias Central Business District. Sebuah area yang dikelilingi gedung-gedung pencakar langit. Perusahaan menerapkan jam kerja yang fleksibel, rata-rata karyawan datang antara jam 9 sampai 10 pagi dan pulang sekitar jam 5 atau 6 sore.

Tiap hari jumat selepas jam kerja, kita sering makan malam bersama. Sekedar melepas penat setelah beberapa hari sebelumnya sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Jack Of All Trades

Ketika di Sydney, role saya lebih banyak di Backend Engineering. Saya banyak mengerjakan API, background job hingga payment processing. Semua saya pelajari on the job. Mulai dari bahasa, framework ataupun cloud platform seperti Amazon Web Service atau Google Cloud.

Teman-teman yang lain sudah tahu bahwa saya tidak suka stuck di posisi yang sama terus menerus. Sudah tiga kali saya pindah tim. Dari Web, Backend sampai terakhir di tim Data.

Mungkin benar saya adalah Jack of all trades, master of none karena dari awal memang banyak mengerjakan hal yang berbeda. Ada yang bilang bahwa menjadi seperti itu tidak bagus, kita tidak punya satu skill khusus yang bisa dibanggakan.

Tetapi saya melihatnya dari sudut yang berbeda, memiliki pengalaman di berbagai bidang membuat saya lebih adaptable, lebih mudah menyesuaikan diri dengan segala perubahan yang terjadi di perusahaan.

Lockdown

Saya berada di Australia selama 3 tahun lebih. Padahal visa saya berlaku sampai 4 tahun. Saya bebas keluar masuk negeri itu selama visa saya masih berlaku.

Meskipun begitu, saya berusaha untuk pulang ke Bali minimal setahun sekali. Akhir 2019 saya pulang untuk yang pertama kalinya, dan tepat sebulan setelah balik ke Australia, dunia diguncang Covid-19.

Saat mendengar berita bahwa Sydney akan di-lockdown, saya sadar bahwa bencana ini bukan bencana biasa. Entah apa yang orang tua saya pikirkan ketika mengetahui anaknya berada di negeri orang ketika bencana itu menyerang seluruh dunia.

Namun sampai pertengahan 2021, pandemi belum juga usai. Saya tidak bisa pulang selama 2 tahun akibat perbatasan Australia dan Indonesia yang masih ditutup.

Dan akhir 2021 saya memutuskan bahwa saya harus segera pulang, bagaimanapun caranya. Sudah terlalu lama saya jauh dari keluarga, apalagi dengan kondisi dunia yang tidak pasti akibat pandemi.

The Bali Project

Ketika perbatasan Australia dan Indonesia mulai dibuka, saya melihat ada celah untuk pulang. Saat itu belum ada penerbangan langsung ke Bali dan harus melewati karantina di Jakarta selama beberapa hari.

Tetapi saya sudah bertekad bahwa saya akan pulang meskipun harga tiket lagi mahal-mahalnya. Syukurnya semua dokumen keberangkatan bisa saya dapatkan tanpa kendala berarti.

Akhirnya, sore hari pada tanggal 16 Februari 2022 pesawat Garuda Indonesia yang saya naiki mendarat di Jakarta. Pertama kali dalam hidup saya melihat langit dan jalanan Jakarta.

Perasaan lega menyelimuti, meskipun belum sampai sepenuhnya di tanah kelahiran saya.

Setelah melewati karantina yang membosankan selama 3 hari, saya pun tiba di Bali. Dijemput oleh bapak dan adik saya setelah 2 tahun tidak bertemu mereka.

Saya sungguh bersyukur masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang yang saya cintai. Tetapi Sydney dan Australia akan selalu mempunyai tempat khusus di hati saya. Sebuah tempat yang menjadi saksi sebuah mimpi telah menjadi kenyataan.

Last updated