4.11 Tantangan

Hari itu saya menerima sebuah email dari seorang bule (orang asing) asal Australia yang kebetulan sudah lama tinggal di Bali.

Dia ingin saya merubah desain yang dia punya menjadi sebuah website. Hal itu pastinya membuat saya senang karena akan dapat proyek lagi. Apalagi ini adalah orang asing yang notabene akan saya berikan harga berbeda (lebih mahal).

Akhirnya kita bertemu di sebuah cafe bernama Deus Ex Machina di daerah Canggu, Kuta. Kita pun langsung serius membicarakan proyek yang akan dibuat. Akhirnya kita deal bahwa harga untuk proyek ini adalah 6 juta rupiah. Itu adalah harga yang sangat bagus karena desain dan yang lainnya sudah disediakan, tinggal menjadikannya tema WordPress.

Setelah mengerjakan disertai beberapa kali pertemuan, akhirnya saya berhasil menyelesaikannya. Pada pertemuan terakhir dia bilang bahwa dia senang dengan hasilnya, saya diberikan sisa pembayaran proyek, dan we are all happy.

Itu adalah proyek pertama saya dengan dia, namun bukan yang terakhir. Belakangan saya tahu bahwa dia seorang serial entrepreneur di negaranya. Pernah punya beberapa bisnis yang sudah dijual sebelum pindah ke Bali.

Sampai suatu hari dia bercerita tentang keinginannya mengakuisisi sebuah aplikasi mobile yang dibuat seorang developer asal Amerika.

Meskipun aplikasi tersebut sederhana (kata dia), tapi sudah punya lebih dari 100 ribu pengguna aktif. Hal itu membuatnya ingin membeli, mengembangkan, dan suatu saat bisa dijual lagi.

Praktek seperti itu adalah hal biasa di dunia bisnis. Seorang atau sekelompok investor bisa membeli sebuah start-up kecil yang dinilai memiliki potensi untuk menjadi besar. Tujuannya adalah mendapatkan capital gain. Dibeli dengan harga murah, dikembangkan, dan dijual lagi di harga yang jauh lebih tinggi. Disanalah investor mendapat keuntungan.

Menariknya lagi, dia ingin merekrut saya untuk bekerja di perusahaan itu. Dan ternyata dia tidak bercanda. Suatu hari dia mengabari bahwa dia berhasil membeli perusahaan itu dan ingin saya bekerja untuknya?

Saya bilang “YES” tanpa berfikir panjang.

Wait, what? Kenapa? Saya sengaja keluar dari kerja kantoran supaya lebih bebas. Supaya punya banyak waktu melakukan apa yang saya suka. Biar tidak banyak aturan. Sekarang mau jadi karyawan lagi?

Jadi begini. Selama menjalani profesi sebagai freelancer, saya menyadari bahwa faktor pendorong saya terus maju bukanlah karena iming-iming kebebasan. Bukan karena ingin bebas. Melainkan karena selalu mencari tantangan.

Ternyata yang mendorong saya keluar dari perusahaan sebelumnya bukan karena tidak bebas, melainkan karena sudah tidak ada tantangan.

Freelancing memang memberikan tantangan baru, namun lama-lama menjadi pekerjaan yang monoton. Skill saya tidak tumbuh sepesat yang saya inginkan.

Saya terima tawaran tersebut karena melihatnya sebagai sebuah tantangan sekaligus peluang bagus. Tidak mudah orang bisa mendapatkan kesempatan seperti itu. Sebuah peluang yang tidak akan saya sia-siakan begitu saja.

Menerima tantangan membuka dua peluang baru. Peluang gagal dan berhasil. Menghindarinya berarti tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya. Padahal pelajaran terbesar adalah saat mencobanya, meskipun pada akhirnya harus gagal.

Mungkin ada yang bilang bahwa saya hanya beruntung. Tinggal di daerah yang banyak turis, banyak orang asing, sehingga peluangnya lebih besar. Mungkin mereka benar, tapi buat saya kualitas dirilah yang menarik peluang menguntungkan.

Last updated